Minggu, 17 Juli 2011

hubungan akal dan wahyu


HUBUNGAN AKAL DAN WAHYU
DIAJUKAN UNTUK TUGAS UTS MATA KULIAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)-R
DOSEN
DR. NURROHMAN, MA
OLEH
YUDI KUSWANDI
NIM: 2.210.9.021
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun[1].
Sebaliknya aliran Asy-‘ariyah berpendapat bahwa akal tidak akan mampu mengetahui itu semua, karena semua kewajiban hanya dapat diketahui oleh wahyu bukan oleh akal, betul akal dapat mengetahui Tuhan tetapi wahyulah yang mewajibkan mengetahui Tuhan itu.[2]
Menurut saya wahyu berpungsi menyempurnakan dan membimbing penemuan akal, agar tidak terjerumus pada kesesatan. Seperti apabila kita mengamati dari mana asalnya durian? Akal akan mencari sumber asal durian tersebut, ternyata ditemukanlah durian berasal dari pedagang, pedagang dari mana dari petani, petani dari mana dari kebun, maka terlihatlah kebun durian tersebut ternyata durian tumbuh dari pohon durian. Siapa yang menumbuhkan pohon tersebut ternyata apabila dipikirkan bukan petani yang membuat tumbuh pohon durian karena petani hanya mampu berharap bahwa benih pohon yang ditanam tumbuh dengan subur, dia tidak mampu untuk menentkan apakah pohon durian tumbuh subur dan berbuah durian bukan buah tomat, berarti dari simulasi tersebut akal mampu menemukan durian bersal dari pohon yang ditanam petani, selanjutnya akal berpikir lagi siapa yang membuat pohon durian tersebut tumbuh? Akal akan menjawab pasti ada satu Dzat yang Maha segalanya yang mengatur ini semua, pertanyaannya siapa Dia? Akal akan menjawab itulah Tuhan, siapa Tuahan itu? Disini titik kebuntuan akal, karena tidak mampu mengetahui Tuhannya siapa! Maka semenjak zaman nenek moyang akal mencari Tuhan maka ditemukanlah oleh akal bahwa Tuhan itu roh-roh suci maka ada aliran animisme, ada juga yang menemukan Tuhan itu dalam benda-benda tertentu maka timbullah dinamisme dan lain sebagainya. Tetapi apabila akal dibimbing wahyu akan menemukan Tuhan yang sebenarnya yaitu Allah SWT dengan firmannya QS al-Baqarah:22: “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Dilihat dari kenyataan di atas akal akan buntu dalam pemikirannya apabila tidak dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian akal sebagai alat pencari kebenaran tetapi harus ada legitimasi dari wahyu agar kebenaran tidak menjadi abstrak dan relativistis sesuai dengan individualis.[3]
Sekarang pertanyaannya bisakah manusia bahagia kekal abadi apabila tidak memasuki pondasi iman dan islam (wahyu) tetapi mengandalkan akal semata? Sebenarnya jawabannya sudah tergambar dari pernyataan di atas, tetapi lebih jelasnya begini! Bahagia itu sifatnya relatif karena termasuk ranah filosofis yang sulit dibuktikan dengan empirik siapa yang bahagia dan siapa yang tidak. Bukan berarti bahagia itu hanya miliki orang kaya, pejabat, cantik, tampan dan sebagainya. Tetapi kebahagian itu milik bersama walaupun dia miskin, bukan pejabat dan lain sebagainya, intinya bahagia itu sulit dibuktikan dengan ilmiah.
Kebahagiaan terbagi dua yaitu kebahagian di dunia fana dan bahagia di akhirat baqa (kekal), akal akan menemukan kebahagiaan di dunia ini tetapi jika menginginkan kebahagiaan yang abadi yaitu di akhirat gerbang utama yang harus dimasuki adalah wahyu yang menunjukkan iman dan islam seperti firman Allah SWT QS al-Baqarah:62: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[4], siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Dalam ayat tersebut siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, hari akhir (akhirat) dan beramal shalih.  Ini Mengindikasikan bahwa jaminan tidak ada kesusahan dan kesedihan (bahagia) bagi semua orang islam, yahudi, nasrani dan agama lain yang beriman kepada Allah SWT, hari kiyamat, dan beramal shalih. Saya yakin konsekuensinya apabila beriman kepad Allah SWT  tidak akan musyrik dan tidak pula membuat kebohongan dalam ayat-ayat yang di turunkan oleh Allah SWT dengan merubah-rubah sesuai dengan hawa nafsunya.
Para Ulama sepakat kebahagiaan akhirat hanya bisa dicapai apabila seseorang memasuki gerbang wahyu (iman dan islam) bagi yang telah mendapatkan dakwah, tetapi apabila tidak tersentuh dengan dakwah, artinya dia tidak mengetahui karena belum sampai dakwah pembawa wahyu kepadanya maka mereka termasuk orang yang bodo ma’dzur (dihampura ku syara’).




[1] Teologi Islam karya Harun Nasution. 1986:80. Jakarta: UI Press
[2] ibid
[3] Filsafat Ilmu. Karya Jujun S. Suryasumantri. 2001:42. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[4] Agama lain

1 komentar: