Sabtu, 16 Juli 2011

Konsep Ihsan Dalam Membangun Shalat Khusyu’

A.    Pendahuluan

1.      Latar Belakang
Shalat adalah puncak tujuan ruhani, munajat pada ilahi Rabbi, sandaran istirahat jiwa, sumber kehidupan, sumber kekuatan, sumber mencari inspirasi, sumber kesehatan dan sumber tazkiyatun- Nafsi.
Banyak orang yang merindukan shalat khusyu’, tetapi bagaimana cara mendapatkan keutamaan dan kesempurnaan khusyu’.
Pertanyaannya apa shalat khusyu’itu? Bagaimana cara meraih shalat khusyu’? Bisakah setiap orang mendapat kesempatan khusyu’? Sulitkah shalat khusyu’ itu? Apa tujuan dan manfaat/hikmah shalat khusyu’? Dan berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan shalat khusyu’ akan selalu mewarnai.
Ketika muncul pertanyaan mengenai bagaimana cara mencapai shalat khusyu’, muncul pula beraneka ragam jawaban, di antaranya: ada yang menganjurkan untuk mengerti arti setiap kalimat yang diucapkan dalam shalat, ada juga yang menganjurkan memandang ketempat sujud (sajadah), dalam upaya memokuskan pikiran agar tidak berkeliaran, dan beraneka ragam jawaban lainnya.
Biarlah semua itu berpendapat tetapi yang paling pokok adalah dapat menyentuh hakikat shalat, yaitu rasa berkomunikasi dan menerima respons dari yang disembah.
Sebenarnya Nabi Muhammad SAW sudah memberikan penjelasan secara teknis langkah-langkah melakukan shalat khusyu’, melalui pendekatan psikologis untuk membangkitkan kesadaran diri, yaitu dengan melakukan ihsan[1] sehingga realitas spiritual benar-benar terwujud dengan baik yang pada akhirnya menghasilkan jiwa yang tentram.
Ruh yang merupakan tuan di dalam tubuh sudah tidak berfungsi, apabila kehilangan kontak dengan sang Pemberi Petunjuk, Pemberi ilmu, dan Juru Penerang. Dalam shalat, sebagaimana pandangan psikologi transpersonal,[2] seseorang akan berusaha untuk menapaki jalan spiritual untuk mempertemukan diri atau aku yang pana dengan kekuatan ilahiah (divine power) atau aku yang kekal.  Seperti sabda Rasulullah saw. (hadits qudsi) menyatakaan: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashrun), di dalam istana itu ada dada (shadrun), di dalam shadrun itu ada kalbu (qalbun), di dalam qalbun ada fu’ad, di dalam fu’ad ada syaghaf, di dalam syaghaf ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana).[3]
Setiap pelaku meditasi membutuhkan objek di dalam  mengarahkan pikiran dan jiwanya. Pada jiwa diarahkan pada sesuatu, jiwa pergi meninggalkan tubuh sehingga kesadarannya dengan leluasa berubah menjadi berada di puncak ketinggian, dengan demikian jiwa menjadi pengendali atas dirinya.
Islam menempatkan Zat Yang Maha Mutlak sebagai puncak tujuan ruhani, sandaran istirahat jiwa, sumber hidup, sumber kekuatan, dan sumber mencari inspirasi. Dengan mengarahkan jiwa kepada Allah ruhani akan mengalami pencerahan karena itu berada dalam ketinggian yang tak terbatas, sehingga jiwa akan kembali pada semula yaitu fitrah (suci) dan tidak terkontaminasi dengan dorongan-dorongan nafsu negatif. Jiwanya akan menjadi bersih lantaran meninggalkan keterikatannya dengan wilayah tubuh yang memiliki kecenderungan  melakukan aktivitas kimiawi.
Ternyata dapat kita ambil kesimpulan paradigma berpikir kita masih sangat dangkal mengenai shalat, kita menganggap shalat hanya rutinitas sehari-hari, yang terpikir dalam benak kita hanya pahala di akhirat saja dan yang paling menghawatirkan asumsi dan didikan orang tua kita, dengan mengatakan bahwa kalau tidak shalat akan masuk neraka yang dibakar di dalamnya, sehingga pikiran anak bagaimana caranya tidak dijebloskan kedalam api neraka? Itu saja yang jadi pemikirannya. Coba kita bayangkan apabila seseorang mengerjakan sesuatu atas dasar takut! Yang akan terjadi hanya mental kucing, bukan? Yaitu apabila dia diawasi, dia akan tenang, sopan, tetapi apabila merasa aman dia langsung menerkam.
Padahal esensi dari shalat adalah akhlakul karimah, dibuktikan dari sebagian ayat Allah QS al-Ankabuut ayat 45, yang berbunyi:
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[4]
2.      Identifikasi Masalah
Ahmad Tafsir (2006:25) berpendapat: pendidikan adalah memanusiakan manusia”. Manusia terdiri dari jasmani, akal dan ruhani,[5] Al-Syaibani (1979: 130) berarti kita harus mendidik tiga ranah tersebut, tetapi yang paling inti (core) dari tiga ranah itu adalah ruhani. Al-Syaibani (1979: 130) dan Muhammad Quthb mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut menyusun manusia menjadi satu kesatuan. [6]
Dalam bahasan makalah ini kami akan menekankan pendidikan ruhani, yang menjadi Core manusia dengan pendidikan Spiritual Quotient (SQ) diantara pendidikan ruhani adalah shalat khusyu’.
Dalam bahasa Arab arti shalat menurut harfiah (etimologi) banyak sekali, di antaranya silatun artinya ikatan/ saling bertemu untuk mengikat kasih sayang (Shilatur- Rahim). Ada juga makna shallat itu do’a, juga ada yang bermakna kasih sayang (rahmat). [7]. Menurut istilah syara’ (terminology) adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam memakai syarat dan rukun tertentu. [8]. Sedangkan Sabiq, S.(Syaf, M. 1996: 191) mengatakan: "Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta'ala dan disudahi dengan memberi salam.
Pengertian khusyu’ banyak yang memberikan interpretasi di antaranya memberikan makna: konsentrasi, karena mengambil dalildari: “Hai orang-orang beriman janganlah kalian shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan” (an-Nisa: 43), ada juga yang mengartikan: “Faham terhadap makna suatu pekerjaan”, sebagian berpendapat: “Tahsin dalam bacaannya”, ada juga yang memberi makna: “Menghindari segala sesuatu yang mengganggu shalat”, serta ada yang berpendapat: Ikhlas”, (Abu Sangkan, dalam pelatihan shalat khusyu’).
Shalih,Q dan Dahlan, A.A. (2004: 363), mengatakan Khusyu' adalah menundukkan kepala. HR al-Hakim dari Abi Hurairata dan HR. Said bin Manshur dari Ibnu Sirin.
Al-Maaliki, A.A. dan An-Nawawi, H.S.(hal: 350) berpendapat Khusyu' adalah meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikan hati ketika shalat. Menghilangkan sesuatu yang dapat meragukan atau membimbangkan dan mengganggu (wasywasy) bagi Musholli ketika shalat baik di rumahnya maupun di tempat shalatnya. Cepat-cepat berpaling dari keindahan dunia dan segala fitnahnya, serta bergegas menghilangkan pandangan yang munkar.
Makhluf, H.M. (197), mengatakan: Mutadzalliluuna khooifuuna saakinuuna artinya: merendahkan hati dan pikiran, merasa takut dan hawatir, tenang dan tentram.
Muhammad, J. dan Abdurrahman, J. (1991: 248), mengatakan khusyu’ adalah mutawaadhiuun artinya rendah hati/tawadhu.
Shawi, A. (1993: 136), mengatakan: Khusyu’ menyangkut dhahir dan bathin, khusyu’ dalam dhahir adalah berpegang teguh pada adab/etika shalat, seperti tidak melirik, tidak mendahului imam, tidak menyimpan tangan di pusar, dan lain sebagainya. Sedangkan khusyu’ dalam bathin adalah menghadirkan Allah Dzat Maha Agung, tidak memikirkan duniawi, dan lain sebagainya.
Nawawi, M. (1994: 71), mengatakan: Khusyu’ adalah merendahkan hati kepada Dzat Yang Disembah dengan tidak berpalingnya hati terhadap sesuatu selain mengagungkan Allah, anggauta badan diam dan tenang, pandangan tunduk melihat tempat sujud, tidak berpaling ke kiri atau kanan bahkan ke atas.
Imam al-Ghazali atau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-ghazali, (159-161), mengatakan: Khusyu’ adalah hadirnya hati, memahami, mengagungkan, ajrih/haibah, roja (berpengharapan), hayaa (malu).
Athaillah, M. (1995: 229), mengatakan: khusyu’ adalah instink ruhani yang halus, dalam kekuatan batiniah, seperti sifat para muqarabin yang mendapatkan inayah dari Allah, berkat ilmu, kecintaannya pada Allah, zuhud, mujahhadah, wirid, ikhlas, dan keyakinan atas keagungan Allah.
Ni’am, M. (91), mengatakan: Khusyu’ adalah Pasrah kepada-Nya dan merendahkan hati atas kebesaran-Nya.

3.      Pembatasan Masalah
Khusyu’ adalah sebuah ilmu, seperti yang dilansir dalam sebuah hadits riwayat Thabrani dengan derajat hadits hasan,
Nabi Muhammad SAW bersabda: “ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyu’an.” Al-hasil khusyu’ memiliki teori dan metode serta implementasi di dalam pelaksanaannya, natijahnya menjadi sarana terbesar dalam menggapai tazkiyatun-nafsi yang merupakan bukti dan ukuran dalam mempertajam makna-makna ubudiyah, tauhid, dan rasa syukur terhadap dzat pemberi ni’mat yang tidak mungkin bisa manusia hitung.
Ilmu adalah suatu sifat yang akan membuka segala sesuatu yang dicari dengan terbuka yang sempurna. [9]
Ilmu juga dapat diartikan dengan sekumpulan teori. Tafsir A. (2005: 12) mengatakan: “ilmu tidak hanya sekumpulan teori, juga menyangkut penjelasan teori dan data yang mendukung teori tersebut (dalam Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam).
Khusyu’ merupakan buah dari iman dan shalat yang berkualitas, bukan sekedar memahami makna shalat secara kuantitas dan hanya menggunakan otak kiri yang berhubungan dengan kognitif tetapi memaksimalkan potensi otak kanan yang menghasilkan rasa (afektif), yaitu merasa diri melihat Allah, kalau tidak mampu maka ketahuilah bahwa Allah melihat-mu (ihsan).
Seperti firman Allah SWT dalam QS 4: 42, yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan".[10] 
4.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah dapat dipaparkan beberapa rumusan, di antaranya:
a.       Bagaimana konsep shalat khusyu’?
b.      Bagaimana metodologi pengaplikasian shalat khusyu’?
c.       Faktor-faktor yang dapat mendukung tercapainya shalat khusyu’?
d.      Kendala-kendala apa saja yang dapat menghalangi shalat khusyu’?
e.       Hikmah/fadhilah shalat khusyu’?

5.      Tujuan Penelitian
a.       Memahami konsep shalat khusyu’
b.      Mampu mengimplementasikan metodologi shalat khusyu’
c.       Memahami faktor-faktor pendukung tercapainya shalat khusyu’
d.      Memahami kendala-kendala yang dapat menghalangi shalat khusyu’
e.       Merasakan hikmah dan fadilah shalat khusyu’
Al-hasil tujuan penelitian adalah memahami konsep shalat khusyu’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan memahami faktor-faktor penyebab timbulnya shalat khusyu’, serta menghindari kendala-kendala yang dapat menghambat mencapai shalat khusyu’, didukung dengan pemahaman hikmah dan fadilah shalat khusyu’ yang merupakan faktor motivasi.
6.      Manfaat Penelitian
Puncak ke-khusyu’an adalah akhlakul karimah baik kepada Allah SWT, sesama manusia atau kepada alam semesta. Imam Ali ra berkata: “Sungguh orang yang berdusta dipagi hari tidak akan khusyu’ shalatnya disiang hari”. Begitu pula kita akan mendapatkan kesuksesan, kebahagian, ketenangan dan ketentraman apabila dapat shalat dengan khusyu’ sesuai firman Allah SWT dalam QS al-Muminun: 1-2:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya".[11] 
Sebaliknya kita akan rugi dan akan dianggap mendustakan agama apabila:
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ
“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,”[12]
Sesungguhnya khusyu’ merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati, maka jika ilmu khusyu’ sudah sirna berarti hati telah rusak karena sudah didominasi oleh penyakit hati yang berbahaya, seperti hubbud-dunya (cinta terhadap dunia).
Shalat merupakan perjalanan ruhani menuju Allah karena shalat merupakan suatu aktivitas jiwa (soul) yang termasuk kajian ilmu psikologi transpersonal, sebab shalat proses perjalanan spiritual yang penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat mushalli (orang yang shalat) untuk mencapai taraf kesadaran yang lebih tinggi (altered states consciousness) dan pengalaman puncak (peak experience).[13]
Shalat memiliki kemampuan mengurangi kecemasan karena terdapat lima unsur di dalamnya,[14] yaitu: a. Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari;  b. Relaksasi, melalui gerakan-gerakan shalat; c. Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat; d. Group-therapy, dalam shalat berjamaah, atau sendiri pun yaitu antara dia (mushalli) dan Allah; e. Hydro-therapy yaitu dalam bersuci, baik dari hadats kecil maupun hadats besar.
Dalam shalat, sebagaimana pandangan psikologi transpersonal, seseorang akan berusaha untuk menapaki jalan spiritual untuk mempertemukan diri atau aku yang pana dengan kekuatan ilahiah (divine power) atau aku yang kekal.  Seperti sabda Rasulullah saw. (hadits qudsi) menyatakaan: “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashrun), di dalam istana itu ada dada (shadrun), di dalam shadrun itu ada kalbu (qalbun), di dalam qalbun ada fu’ad, di dalam fu’ad ada syaghaf, di dalam syaghaf ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana).[15]
Jiwa (ruh) yang dihembuskan Allah kepada jasad merupakan ruh Ilahi yang suci, membawa misi untuk menjadi khalifah filardi. Shalat adalah salah satu cara mengembalikan kesadaran perjalanan mi’raj yaitu menuju pada ketinggian Ilahi yang luas, sehingga kesadaran ruhani kembali pada kedudukannya sebagai duta Ilahi (khalifatullah).
Setiap orang memiliki potensi fitrah dalam mengenal Tuhannya, al-Ghazali berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat, orang tuanyalah yang memberikan agama kepada mereka, dalam memelihara fitrah dan akhlakul karimah diperlukan memerhatikan beberapa hal di antaranya:[16] Menjauhkan anak dari pergaulan yang tidak baik; Membiasakannya untuk bersopan-santun; Memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal saleh; Membiasakannya mengenakan pakaian putih, bersih dan rapih; Mencegah anak untuk tidur siang hari; Menganjurkan mereka untuk berolahraga; Menanamkan sikap sederhana; Mengijinkan bermain setelah belajar.
Selaras dengan pendapat Al-Ghazali, pendapat John Locke yang terkenal dengan teori tabularasa, dia mengatakan bahwa jiwa manusia saat dilahirkan laksana kertas bersih (istilahnya meja lilin), kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya.[17]
Dalam teori “Anggukan Universal” semua orang akan mengangguk apabila mendengar, melihat, atau  merasakan sebuah kebenaran. Dari teori tersebut dan teori al-Hasyer ayat:  22.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.24.  Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:[18]
a.       Bahwa suara hati manusia pada dasarnya universal, jika telah mencapai titik fitrah (god spot) dan terbebas dari segala paradigma dan belenggu.
b.      Allah telah meniupkan ruh yang bersifat mulia kepada manusia, dan Allah pula yang meniupkan keinginan-nya ke dalam hati manusia, ini terbukti dengan teori “Anggukan Universal” yang bersumber pada ayat di atas, juga ayat 172 surat al- ‘Araf, yaitu ketika jiwa manusia mengakui dan mengangguk kepda Allah bahwa Allah-lah Tuhannya, anggukan yang membenarkan suara hati itu masih terus berjalan dan masih kita rasakan hingga saat ini, kecuali hati yang tertutup.
c.       jika dibandingkan dengan literatur teori barat yang menjelaskan tentang kecerdasan emosi, maka dapat diketahui dan dirasakan bahwa suara hati itu adalah dorongan dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti dalam surat al-Hasyr ayat 22-24, sebagai contoh; dorongan ingin keadilan, kebijaksanaan, sejahtera, memelihara, menciptakan, dn ingin mengasihi, semua itu adalah sifat-sifat Allah (asmaa ul husnaa), inilah salah satu kunci kecerdasan emosi.




[1] Ihsan adalah kamu ibadah kepada Allah SWT  seolah-olah kamu melihatNya, apabila tidak  mampu, maka sesungguhnya Dia melihatmu (meyakini/merasakan bahwa Allah SWT melihatmu). Abu Husaein Muslim bin Hujjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Hal. 22
[2] Sangkan, A. 2007: 7
[3] Tafsir, A., 2006: 28
[4] Al-Quran dan terjemah, ker. Saudi Arabia & Depag RI. 1990: 635
[5] Tafsir, A. 2006: 19. Filsafat Pendidikan Islam
[6] Ibid. 2006: 18
[7] Hidayat, K., dalam pengantar Shalat khusyu’ oleh Abu Sangkan, 2007: xvi
[8] Alwi Abbas al-Maliki, Ibanatul Ahkam, 235
[9] Hakim, A.H., 1927: 7
[10] al-Qur'an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia dan DEPAG RI. 1990: 126
[11] al-Qur'an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia dan DEPAG RI. 1990: 526
[12] Ibid 1990: QS al-Muminun: 1-7
[13] Sangkan, A. 2007: 7
[14] Ibid. Hal. 8
[15] Tafsir, A. 2006: 28
[16] Yusuf, S,. LN., 2005: 10
[17] Tafsir, A. 2006: 13
[18] Ginanjar, A. 2003: 68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar