Minggu, 17 Juli 2011

hubungan akal dan wahyu


HUBUNGAN AKAL DAN WAHYU
DIAJUKAN UNTUK TUGAS UTS MATA KULIAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)-R
DOSEN
DR. NURROHMAN, MA
OLEH
YUDI KUSWANDI
NIM: 2.210.9.021
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun[1].
Sebaliknya aliran Asy-‘ariyah berpendapat bahwa akal tidak akan mampu mengetahui itu semua, karena semua kewajiban hanya dapat diketahui oleh wahyu bukan oleh akal, betul akal dapat mengetahui Tuhan tetapi wahyulah yang mewajibkan mengetahui Tuhan itu.[2]
Menurut saya wahyu berpungsi menyempurnakan dan membimbing penemuan akal, agar tidak terjerumus pada kesesatan. Seperti apabila kita mengamati dari mana asalnya durian? Akal akan mencari sumber asal durian tersebut, ternyata ditemukanlah durian berasal dari pedagang, pedagang dari mana dari petani, petani dari mana dari kebun, maka terlihatlah kebun durian tersebut ternyata durian tumbuh dari pohon durian. Siapa yang menumbuhkan pohon tersebut ternyata apabila dipikirkan bukan petani yang membuat tumbuh pohon durian karena petani hanya mampu berharap bahwa benih pohon yang ditanam tumbuh dengan subur, dia tidak mampu untuk menentkan apakah pohon durian tumbuh subur dan berbuah durian bukan buah tomat, berarti dari simulasi tersebut akal mampu menemukan durian bersal dari pohon yang ditanam petani, selanjutnya akal berpikir lagi siapa yang membuat pohon durian tersebut tumbuh? Akal akan menjawab pasti ada satu Dzat yang Maha segalanya yang mengatur ini semua, pertanyaannya siapa Dia? Akal akan menjawab itulah Tuhan, siapa Tuahan itu? Disini titik kebuntuan akal, karena tidak mampu mengetahui Tuhannya siapa! Maka semenjak zaman nenek moyang akal mencari Tuhan maka ditemukanlah oleh akal bahwa Tuhan itu roh-roh suci maka ada aliran animisme, ada juga yang menemukan Tuhan itu dalam benda-benda tertentu maka timbullah dinamisme dan lain sebagainya. Tetapi apabila akal dibimbing wahyu akan menemukan Tuhan yang sebenarnya yaitu Allah SWT dengan firmannya QS al-Baqarah:22: “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Dilihat dari kenyataan di atas akal akan buntu dalam pemikirannya apabila tidak dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian akal sebagai alat pencari kebenaran tetapi harus ada legitimasi dari wahyu agar kebenaran tidak menjadi abstrak dan relativistis sesuai dengan individualis.[3]
Sekarang pertanyaannya bisakah manusia bahagia kekal abadi apabila tidak memasuki pondasi iman dan islam (wahyu) tetapi mengandalkan akal semata? Sebenarnya jawabannya sudah tergambar dari pernyataan di atas, tetapi lebih jelasnya begini! Bahagia itu sifatnya relatif karena termasuk ranah filosofis yang sulit dibuktikan dengan empirik siapa yang bahagia dan siapa yang tidak. Bukan berarti bahagia itu hanya miliki orang kaya, pejabat, cantik, tampan dan sebagainya. Tetapi kebahagian itu milik bersama walaupun dia miskin, bukan pejabat dan lain sebagainya, intinya bahagia itu sulit dibuktikan dengan ilmiah.
Kebahagiaan terbagi dua yaitu kebahagian di dunia fana dan bahagia di akhirat baqa (kekal), akal akan menemukan kebahagiaan di dunia ini tetapi jika menginginkan kebahagiaan yang abadi yaitu di akhirat gerbang utama yang harus dimasuki adalah wahyu yang menunjukkan iman dan islam seperti firman Allah SWT QS al-Baqarah:62: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[4], siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Dalam ayat tersebut siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, hari akhir (akhirat) dan beramal shalih.  Ini Mengindikasikan bahwa jaminan tidak ada kesusahan dan kesedihan (bahagia) bagi semua orang islam, yahudi, nasrani dan agama lain yang beriman kepada Allah SWT, hari kiyamat, dan beramal shalih. Saya yakin konsekuensinya apabila beriman kepad Allah SWT  tidak akan musyrik dan tidak pula membuat kebohongan dalam ayat-ayat yang di turunkan oleh Allah SWT dengan merubah-rubah sesuai dengan hawa nafsunya.
Para Ulama sepakat kebahagiaan akhirat hanya bisa dicapai apabila seseorang memasuki gerbang wahyu (iman dan islam) bagi yang telah mendapatkan dakwah, tetapi apabila tidak tersentuh dengan dakwah, artinya dia tidak mengetahui karena belum sampai dakwah pembawa wahyu kepadanya maka mereka termasuk orang yang bodo ma’dzur (dihampura ku syara’).




[1] Teologi Islam karya Harun Nasution. 1986:80. Jakarta: UI Press
[2] ibid
[3] Filsafat Ilmu. Karya Jujun S. Suryasumantri. 2001:42. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[4] Agama lain

Sabtu, 16 Juli 2011

kutubussittah


KUTUB AL SITTAH
A.    Pendahuluan
Perintis pertama yang menyusun spesifikasi hadits adalah al-Qhadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzy (2.360 H) yang diberi nama al-Muhaditsul Fasil Bainar Rawi was Sami’. Ulama Mutaakhirin ijma dalam menetapkan kitab rujukan atau kitab induk berjumlah lima buah, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Nasai, dan al-Tirmidzi, kitab-kitab tersebut dinamakan al-Kutub al-Khamsah atau al-Usul al-Khamsah.[1]
Abu al-Fadhli ibn Thahir, Abd al-Ghany al-Maqdisy, al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Khazrajy mengatakan bahwa Sunan Ibnu Majah termasuk kedalam kitab induk sehingga menjadi enam kitab usul.
Razim dan Atsir menyebutkan kitab induk yang ke-enam adalah al-Muwaththa, dia mengatakan kitab ini kitab yang paling shahih pada abad ke-2.
Sebagian ulama mutaakhirin menyebutkan bahwa kitab induk yang ke-6 adalah kitab al Sunan atau al-Musnad, susunan ad-Darimy, bahkan sebagian lain menyebutkan al-Muntaqa karya Ibnu Jarud sebagai kitab yang ke-6.
Kitab lima ini telah mengumpulkan 95% hadits shahih mengenai hukum, 5% dikumpulkan dalam kitab-kitab lain yang disusun pada abad ke-4 Hijriah.
B.     Mashadir Ashliyah
1.      Shahih al-Bukhary
a.      Sejarah Singkat al-Bukhary
Imam Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkap al-Bukhari ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Jufi al-Bukhari, ayah beliau ahli hadits dan termasuk saudagar kaya. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta, Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Ketika usia 10 tahun Bukhari sudah menghapal hadits dan pada usia 16 tahun sudah hapal kitab-kitab karya Ibn Mubarak dan Wakie dan bermusafir menemui ulama-ulama hadits di berbagai kota, seperti kota Maru, Naisaburi, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damaskus dan Asqalan. Dia meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama hadits seperti: Makki ibn Ibrahim al-Balakhi, Abdan ibn Ustman al-Marwazi, Abdullah ibn Musa al-Qaisi, Abu Ashim asy-Syaibani, Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, Muhammad ibn Yusuf al-Firyabi, Abu Nuaim al-Fadl ibn Dikkin, Ali ibn Madini, Ahmad ibn Hambal, Yahya ibn Main, Ismail ibn Idris al-Madani, ibn Rahawaih dan lain sebagainya.[2] Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Al-Bukhari mempunyai daya hapal yang sangat kuat, istimewa dalam bidang hadits masa kanak-kanak sudah hapal 70.000 hadits lengkap dengan sanadnya, hari lahir, hari wafat dan tempat-tempat para perowi dan dicatat pula apa yang dihapal tersebut.
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
 Shahih Bukhary kitab pertama yang membukukan hadits-hadits shahih, dan jumhur Ulama sepakat kitab ini sebagai rujukan utama dalam hukum setelah al-Quran, kitab ini pula yang menjadi rujukan kitab-kitab shahih lainnya. Al-Bukhari menyelesaikan shahihnya selama 16 tahun.[3] Dia membuat trik baru yang hebat yaitu membedakan antara hadits shahih dan tidak shahih, Dia juga sangat menghormati hadits dari Nabi SAW, sehingga apabila mau menuliskan hadits, dia mandi dan istikharah. Kitab yang dia nukil bernama al-Jami’ al-Shahih al-Musnad min Haditsi Rasulullah SAW isinya berjumlah 9.082 hadits marfu’ dan sejumlah hadits yang mauquf serta maqthu.
Ibnu Shalah mengatakan hadits al-Bukhary 7.275 buah berulang-ulang, sehingga jumlah hadits al-Bukhari hanya 4.000 buah, pendapat ini diikuti oleh al-Nawawy. Al-Hafidz mengatakan jumlah hadits al-Bukhary beserta yang berulang-ulang ada 2606 buah, yang muallaq ada 1341 buah, yang muttabi’ ada 344 buah, sehingga jumlah seluruhnya 9.082 hadits. Ad-Daruqhny menyisihkan 110 buah hadits, 78 diriwayatkan oleh Bukhary sendiri, 30 buah disetujui Muslim.
Tidak ada sebuah kitab pun yang mendapat perhatian lebih dari pada kitab al-Bukhari, sehingga sekurang-kurangnya terdapat 82 syarah Shahih Bukhary, dari sekian banyak yang paling lengkap ada empat buah, yaitu: al-Tanqih karya Badruddin al-Zarkasyi; al-Tawusyih karya Jalaluddin al-Syuyuthy; ‘Umdat al-Qari’ karya Badrudin al-Ainy dan Fath al-Bari karya Syihabuddin (Ibnu Hajar) al-Asqalany. Di antara ke-4 kitab syarah tersebut Fath al-Bari yang paling sempurna, sehingga diberi gelar “Raja Syarah al-Bukhari”. Ibnu Hajar memulai penyusunan tersebut pada tahun 817 H, dan diadakan perhelatan besar yang menelan biaya 500 dinar kemudian seorang Amir ingin membeli syarah tersebut dengan harga 150.
Disamping syarah shahih Bukhary dibuat juga mukhtasharnya, ringkasan tersebut yang terbaik adalah al-Tajrid al-Shahih karya al-Husain ibn al-Mubarak (631 H). Sebagian sarjana menetapkan bahwa al-Tajrid al-Shahih ini karya Abu Abbas Syaifudin Ahmad al-Syirajy al-Zabidy yang diselesaikan tahun 889 H. Pada tahun 893 H beliau wafat, sebagian Ulama membenarkan dengan bukti bahwa al-Husain ibn Mubarak al-Zabidy wafat 631 H, sedangkan buku tersebut selesai tahun 889 H.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina. 
b.      Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.

c.       Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami'As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim  menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."

d.      Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

e.       Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah, tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.





f.       Syarat Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya
Imam Bukhari tidak menyebutkan secara tegas syarat mentakhrij hadits, tetapi para ulama melihat indicator persyaratan dari metode yang digunakan Bukhari dalam kitabnya, di antara syarat shahih Bukhari[4] adalah:
1.      Memilih perowi-perowi yang terkenal adil, dhabit, tsiqah dan teguh
2.      Menghimpun hadits-hadits hukum, keutamaan, berita-berita yang telah dan akan terjadi, adab, dan lain-lain
3.      Menghindari hadits dhaif
4.      Sanadnya muttashil
5.      Mua’sharah (sejaman) dan liqa (bertemu) antara perawi dan gurunya

g.      Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."

h.      Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.




2.      Shahih Muslim
a.      Sejarah Singkat Imam Muslim
Nama lengkap Muslim ialah Abdul Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, dia dilahirkan di Naisabur wilayah Rusia pada tahun 202 H atau 817 M,[5] meninggal di Naisaburi tahun 261 H, dan sebagian ahli hadits meriwayatkan kelahirannya tahun 204 H,[6] ada juga yang menyebutkan tahun 206 H.[7] dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Dia salah satu imam hadits terkemuka yang mempelajari hadits di berbagai kota seperti Hijaz, Irak, Syam, dan Mesir. Dia juga meriwayatkan hadits dari beberapa ulama hadits seperti Yahya ibn Yahya al-Naisaburi, Ahmad ibn Hanbal, Ishak ibn Rahawaih dan Abdullah ibn Maslamah al-Qanabi, al-Bukhari, al-Turmudzi, Yahya ibn Said, Muhammad ibn Makhlad, Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah, Muhammad ibn Abdul Wahab al-Farra, Ahmad ibn Salamah, Abu Awanah, Yaqub ibn Ishaq al-Isfarayini, Nashr ibn Ahmad dan yang lainnya.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini ketika usianya kurang dari 15 tahun, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits ( tahun 218 H). Beliau dianugerahi kelebihan ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia 10 tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

b.      Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."


c.       Kitab Shahih Muslim

Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya.
Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat dibawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

d.      Antara al-Bukhari dan Muslim

Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis. Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif.
Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.

 

e.       Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya selain al-Jamiush Shahih, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad, 22). al-Musnad al-Kabir dan lain-lain.[8]
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

 

f.       Syarat Shahih Muslim

Imam Muslim dalam mentakhrij hadits mensyarat criteria shahih pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan Imam Bukhari hanya berbeda dalam syarat no ke-5, bahwa Imam Muslim tidak mensyaratkan perowi bertemu dengan gurunya tetapi cukup satu zaman.

 

g.      Wafatnya Imam Muslim

            Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.

3.      Sunan Abi Daud
Nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’at bin Ishaq bin Basyir bin Syihab bin Amar bin ‘Amran al-Azdi as-Sijistani.[9] Dia lahir tahun 202 H. Dia mulai belajar sejak masih kecil dan mengembara ke Hijaz, Syam, Irak, al-Jazair, dan Khurasan, di antara para gurunya adalah Abu Amr adh-Dharir, al-Qa’nabiy, Abu al-Walid ath-Thayalisy, Sulaiman bin Harb, Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain.[10]
Abu daud termasuk ulama produktif sehingga disejajarkan dengan imam Ahmad bin Hanbal dalam kewara’an, keilmuan dan ibadahnya. Beliau sering ke Bagdad sehingga pada tahun 272 H gubernur Bashrah yang merupakan saudara Khalifah al-Muwaffiq meminta Abu Daud bermukim di Bagdad untuk menyemarakkan keilmuan, dan dia pun bermukim di sana hingga wafat pada tahun 275 H dan makamnya di sebelah makam Imam Sufyan al-Tsaury.
Karya-karya beliau sangat banyak hingga mencapai 12 karya, dan mencatat 500.000 hadits, di antaranya kitab yang terkenal adalah kitab sunan dengan metode penyususnannya menurut bab-bab fiqih dan membatasi isinya seputar sunan-sunan dan hukum-hukum, dia tidak menyebutkan kisah-kisah, mauidhah-mauidhah, dan khabar-khabar, tentang ke Zuhudan, keutamaan amal dan lain-lain.
Metode penulisan beliau dengan menyebutkan hadits shahih, menjelaskan hadits dhaif, tidak memasukan hadits matruk, memasukan hadits munkar dengan menjelaskan kemunkarannya, dengan demikian beliau mentakhrij derajat hadits yang ditulisnya.
Karya beliau banyak yang memberikan syarah di antaranya Ma’alim as-Sunan karya al-Khathiby dan Aun al-Ma’bud karya ahli hadits india Abu Ath-Thaib Syam al-Haqq Azhim Abady. Ada juga kitab mukhtasharnya yaitu al-Mujtaba karya al-Mundziry dan disyarahkan oleh as-Syuyuthi, dan al-Mujtaba disaring oleh Ibn al-Qayyim al-Jaiziyah dengan nama kitabnya Tahdzib as-Sunan.[11]
4.      Sunan al-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Abi Bakar ibn Sinan an-Nasa’i dan terkenal dengan nama an-Nasa’i karena dinisbatkan dengan kota Nasa’i salah satu kota Khurasan dilahirkan tahun 215 H dan meninggal senin 13 Shafar 303 H di Palestina dan di makamkan di Baitul Maqdis.[12]
Beliau menuntut ilmu sejak usia 15 tahun kepada ulama-ulama besar negeri Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan al-Jazair, kemudian dia bermukim di Mesir selain ahli hadits dia juga ahli fiqih madzhab syafi’i, dia juga dikenal ahli ibadah, wara’, juga memiliki keperwiraan yang tinggi.[13]
Nasa’i menyusun sampai 15 karya yang sebagian besar karyanya tentang hadits dan ilmu-ilmunya, kitab yang paling terkenal adalah Sunan dan diberi nama al-Mujtaba min as-Sunan, kitab tersebut pernah diajukan kepada Gubernur Ramlah, lalu sang Gubernur bertanya apakah kitab tersebut memuat semua hadits berderajat shahih, Nasa’i berkata ada yang shahih, ada yang hasan dan ada yang mendekati keduanya. Kemudian Gubernur mengatakan: kalau begitu, tuliskan yang shahih saja untukku, kemudian Nasa’i meringkas kitab Sunan al-Kubra menjadi yang shahih saja dan menjadi Sunan al-Sughra dan bernama al-Mujtaba min as-Sunan.
Sehingga dalam kitabnya memuat hadits shahih dan tidak memuat yang dhaif dan rawi Jarh sehingga hampir setingkat dengan Sunan Abu Daud, karena ketelitian Nasa’i dalam menerapkan metode yang beliau patokan pada kitabnya. Hanya saja Abu Daud memiliki lebih perhatian dalam hal penambahan matan dan lafadz-lafadz hadits yang diperhatikan oleh para ahli hadits dan juga fakar fiqih. Oleh sebab itu Sunan an-Nasa’i kitab induk hadits setelah Bukhari, Muslim, Abu Daud dan at-Tirmidzi.[14]
5.      Sunan al-Tirmizdi
Imam Tirmizi adalah salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.
Dilahirkan pada 209 H di kota Tirmiz dan wafat di Tirmiz tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun. Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain. [15]
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.[16]
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. 'Coba bacakan!' perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' Aku menjawab, 'Tidak.' Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.' "
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.' Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting.
Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.[17]

6.      Sunan Ibn Majah
Nama aslinya al-Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Quzwaini ibn Abdillah ibn Majah al-Qazwini, lahir pada tahun 207 H dan wafat bulan Ramadan tahun 275 H.[18] Menurut al-Ajjaz (ushul al-Hadits, hal 290),  beliau lahir tahun 209 H di Quzwain.
Beliau mulai belajar semenjak kecil dan berguru pada ulama besar di kota Irak, Hijaz, Mesir, Syam dan lainnya, seperti Muhammad ibn Abdillah  ibn Numair dan tokoh-tokoh lain. Ibnu Majah seorang Tsiqah yang besar, mutaffaq alaih, muhtajj dan memiliki pengetahuan dan hapalan yang kuat.
Karya beliau meliputi bidang tafsir, hadits dan tarikh, tetapi karya yang terpopuler adalah kitab as-Sunan. Beliau menyusunnya secara sistematik menurut fiqih, seperti halnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi, beliau tidak bermaksud mentakhrij hadits shahih saja, sehingga haditsnya memuat yang shahih, hasan, dhaif dan yang sangat lemah. Sehingga sebagian ulama tidak memasukkan kitabnya pada mashadirur al-sittah.

7.      Musnad Imam Ahmad
Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hilal Ibn Asad Asy-Syaibani al-Marwazi, lahir di Marwaz daerah utara Afganistan dan utara Iran pada tanggal 20 Rabiul Awwal 164 H/781 M dan wafat tahun 241 H/855 M di Bagdad.[19] Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad ini dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan, banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya. Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya. Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.

8.      Sunan al-Dzarimi
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdillah bin Abdirrahman bin Fadl al bin Bahram bin Abdish-Shamad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darimi,  lahir tahun 181 H wafat pada hari Tarwiah sesudah ashar  dimakamkan di Marwa pada hari Arafah tepat hari jumat tahun 255 H.[20]
Sunan ad-Darimi lebih banyak mengandung hadits shahih dibandingkan dengan Sunan Ibnu Majah, sehingga lebih tinggi dari pada sunan Ibnu Majah, maka sebagian ulama memasukkan ad-Darimi menjadi kutubs-Sittah seperti yang dikemukakan al-Hafidz al-Asqalani.

C.     Kesimpulan
Ulama Mutaakhirin ijma dalam menetapkan kitab rujukan atau kitab induk berjumlah lima buah, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Nasai, dan al-Tirmidzi, kitab-kitab tersebut dinamakan al-Kutub al-Khamsah atau al-Usul al-Khamsah.
Abu al-Fadhli ibn Thahir, Abd al-Ghany al-Maqdisy, al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Khazrajy mengatakan bahwa Sunan Ibnu Majah termasuk kedalam kitab induk sehingga menjadi enam kitab usul yang dikenal dengan nama kutub al-Sittah
Razim dan Atsir menyebutkan kitab induk yang ke-enam adalah al-Muwaththa, dia mengatakan kitab ini kitab yang paling shahih pada abad ke-2.
Sebagian ulama mutaakhirin menyebutkan bahwa kitab induk yang ke-6 adalah kitab al Sunan atau al-Musnad, susunan ad-Darimy, bahkan sebagian lain menyebutkan al-Muntaqa karya Ibnu Jarud sebagai kitab yang ke-6.
Kitab lima ini telah mengumpulkan 95% hadits shahih mengenai hukum, 5% dikumpulkan dalam kitab-kitab lain yang disusun pada abad ke-4 Hijriah.
Apabila kita cermati berbagai pendapat yang menetapkan kitab hadits yang menjadi rujukan dengan berbagai argumen, dapat kita simpulkan bahwa tidak ada ketentuan mashadir asliyah tersebut lima, enam atau lebih, yang terpenting semuanya memiliki keistimewaan masing-masing di antara kekurangan masing-masing.
Tetapi apabila melihat ijma ulama Mutaakhirin bahwa kutub al-Khamsah sudah mencakup 95% hadits shahih, berarti 5% lagi tersebar dalam semua kitab yang diperdebatkan yang lebih layak menjadi kutub mashadir ashliyah.
Metodologi dan karakteristik dalam penulisan hadits mereka sangat ketat terutama mengenai derajat kualitas hadits seperti syarat yang dikemukakan al-Bukhari seperti Memilih perowi-perowi yang terkenal adil, dhabit, tsiqah dan teguh; Menghimpun hadits-hadits hukum, keutamaan, berita-berita yang telah dan akan terjadi, adab, dan lain-lain; Menghindari hadits dhaif; Sanadnya muttashil; Mua’sharah (sejaman) dan liqa (bertemu) antara perawi dan gurunya. Sedikit beda dari gurunya Imam Muslim menetapkan syarat yang kelima hanya cukup sejaman tidak usah bertemu.













Daftar Pustaka
Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhary. W.1138 H. Shahih Bukhary. Sirkah al-Nuur Asia
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury. Shahih Muslim. Indonesia: Dar Ihya
Ahmad Sunarto dan KH Nur Khozin, Drs., 2000. Terjemah Bulughul Maram.     Jakarta:Pustaka Amani
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. ‘Ilal al-Hadits. Daar al-Kutub al-Dhahiriyah
Ali Abbas al_Maliki dan Hay. Sulaiman al-Nury. Ibanatul Ahkam. Mahfudhah
A.    Qadir Hassan, 1987. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro
A.W. Munawwir. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif
Dr. Shubhiy al-Shalih. Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuhu. Jami’ah Damaskus.1959
Hussein Bahreisj, 1987. Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: al-Ikhlas
Imam Hakim Abi Abdillah. 1977. Ma’rifat al-Ulum al-Hadits. Madinah Munawarah
Jalaluddin al-Suyuthi. Tadrib al-Rawi. Maktabah al-Qahirah. Mesir. 1959
M. Agus Solahudin, Drs. M.Ag., dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
M. Ajjaj al-Khatib, Dr., terjemah oleh M. Qodirun Nur, Drs. dan Ahmad
Musyafiq, S.Ag., 2007. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama
M. Ahmad, Drs.H. dan M. Mudzakir, Drs. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
M. Idris Abdul Rauf al-Marbawy. Kamus Idris al-Marbawy. Indonesia: Dar Ihya
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Prof. Dr. 2009. Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra



[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu Hadits. Hal  71
[2] Drs.H. Muhammad Ahmad- Drs.M. Mudzakkir. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.2000. hal 171
[3] Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu Hadits. Hal .72
[4] DR M. Ajaj al-Khatib. Ushulul Hadits. Terjemah oleh H.M. Nur Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 282

[5] http://opi.110mb.com/ Sopyan Efendi (2006)
[6] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2009) hal 234
[7] Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2000) hal 174
[8] Hussein Bahreisj. Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: al-Ikhlas.1987. Hal ix-xi
[9] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2009) hal 240
[10] DR M. Ajaj al-Khatib. Ushulul Hadits. Terjemah oleh H.M. Nur Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 287
[11] Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu Hadits. Hal  74
[12] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2009) hal 236-237
[13] DR M. Ajaj al-Khatib. Ushulul Hadits. Terjemah oleh H.M. Nur Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 289


[14] Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu Hadits. Hal  74
[15] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2009) hal 243
[16] ibid
[18] A. Qadir Hassan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 1987. Hal 435-436
[19] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. (2009) hal 229
[20] A. Qadir Hassan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 1987. Hal 437